Disusun Oleh:
Nama : Merina Astuti
No Pokok : 101-12-019
Jurusan : Administrasi Negara
Mata Kuliah : Sistem Ekonomi Indonesia
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi & Pemerintahan
Annisa Dwi Salfaritzi
Palembang
Sistem Perekonomian Indonesia
Selama
Masa Orde Lama (1950-1966)
Setahun setelah pemerintahan Belanda mengakui kedaulatan RI, tepatnya pada
tahun 1950, obligasi Republik Indonesia dikeluarkan oleh pemerintah. Peristiwa
ini menandai mulai aktifnya kembali pasar modal Indonesia.
Didahului dengan diterbitkannya Undang-undang Darurat No. 13 tanggal 1
September 1951, yang kelak ditetapkankan sebagai Undang-undang No. 15 tahun
1952 tentang Bursa, pemerintah RI membuka kembali Bursa Efek di Jakarta pada
tanggal 31 Juni 1952, setelah terhenti selama 12 tahun. Adapun
penyelenggaraannya diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan Uang dan
Efek-efek (PPUE) yang terdiri dari 3 bank negara dan beberapa makelar Efek
lainnya dengan Bank Indonesia sebagai penasihat.
Sejak itu Bursa Efek berkembang dengan pesat, meskipun Efek yang
diperdagangkan adalah Efek yang dikeluarkan sebelum Perang Dunia II. Aktivitas
ini semakin meningkat sejak Bank Industri Negara mengeluarkan pinjaman obligasi
berturut-turut pada tahun 1954, 1955, dan 1956. Para pembeli obligasi banyak
warga negara Belanda, baik perorangan maupun badan hukum. Semua anggota
diperbolehkan melakukan transaksi abitrase dengan luar negeri terutama dengan
Amsterdam.
Namun keadaan ini hanya berlangsung sampai pada tahun 1958, karena mulai
saat itu terlihat kelesuan dan kemunduran perdagangan di Bursa. Hal ini
diakibatkan politik konfrontasi yang dilancarkan pemerintah RI terhadap Belanda
sehingga mengganggu hubungan ekonomi kedua negara dan mengakibatkan banyak
warga negara Belanda meninggalkan Indonesia.
Perkembangan tersebut makin parah sejalan dengan memburuknya hubungan
Republik Indonesia dengan Belanda mengenai sengketa Irian Jaya dan memuncaknya
aksi pengambil-alihan semua perusahaan Belanda di Indonesia, sesuai dengan Undang-undang
Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958.
Kemudian disusul dengan instruksi dari Badan Nasionalisasi Perusahaan
Belanda (BANAS) pada tahun 1960, yaitu larangan bagi Bursa Efek Indonesia untuk
memperdagangkan semua Efek dari perusahaan Belanda yang beroperasi di
Indonesia, termasuk semua Efek yang bernominasi mata uang Belanda, makin
memperparah perdagangan Efek di Indonesia.
Tingkat inflasi pada waktu itu yang cukup tinggi ketika itu, yakni mencapai
lebih dari 300%, makin menggoncang dan mengurangi kepercayaan masyarakat
terhadap pasar uang dan pasar modal, juga terhadap mata uang rupiah yang
mencapai puncaknya pada tahun 1996.
Penurunan ini mengakibatkan nilai nominal saham dan obligasi menjadi
rendah, sehingga tidak menarik lagi bagi investor. Hal ini merupakan pasang
surut Pasar Modal Indonesia pada zaman Orde Lama.
Tokoh – Tokoh
Berikuti ini adalah tokoh – tokoh
Negara yang berperan dalam perekonomian di Indonesia selama masa orde lama,
antara lain :
o Kabinet Hatta : reformasi moneter melalui devaluasi mata uang nasional yang
pada saat itu masih gulden dan pemotongan uang sebesar 50% atas semua uang
kertas yang beredar pada bulan Maret 1950 yang dikeluarkan oleh De Javasche
Bank yang bernilai nominal lebih dari 2,50 gulden Indonesia
o Kabinet Natsir : untuk pertama kalinya dirumuskan suatu perencanaan
pembangunan ekonomi, yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP)
o Kabinet Sukiman : Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia
(BI) dan penghapusan system kurs berganda
o Kabinet Wilopo : Untuk pertama kalinya memperkenalkan konsep anggaran
berimbang dalam APBN, memperketat impor, malakukan “rasionalisasi” angkatan
bersenjata melalui medernisasi dan pengurang jumlah personil, dan pengiritan
pengeluaran pemerintah
o Pada masa Kabinet Ami I, hanya dua langkah konkret yang dilakukan dalam
bidang ekonomi, yakni pembatasan impor dan kebijakan uang ketat
o Kabinet Burhanuddin, tindakan-tindakan ekonomi penting yang dilakukan
termasuk diantaranya adalah liberalisasi impor, kebijkan uang ketat untuk
menekan laju uang beredar, dan penyempurnaan Program Benteng, mengeluarkan
kebijakan yang memperbolehkan modal (investasi) asing masuk ke Indonesia,
pemberian bantuan khusus kepada pengusaha-pengusaha pribumi, dan pembatalan
(secara sepihak) persetujuan Konferensi Meja Bundar sebagai usaha untuk
menghilangkan system ekonomi kolonial atau menghapuskan dominasi
perusahaan-perusahaan Belanda dalam perekonomian Indonesia
o Kabinet Ali I, praktis tidak ada langkah-langkah yang berarti, selain
mencanangkan sebuah rencana pembangunan baru dengan nama Rencana Lima Tahun
1956-1960
o Pada masa Kabinet Djuanda : dilakukan pengambilan (nasionalisasi)
perusahaan-perusahaan Belanda
Pemerintahan pada masa orde lama dibagi menjadi tiga
yaitu
A. Masa Kemerdekaan Indonesia (1945-1950)
Pada masa awal kemerdekaan, keadaan ekonomi Indonesia
sangat buruk, yang antara lain disebabkan oleh :
1. Inflasi yang sangat tinggi, hal ini disebabkan karena beredarnya
lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk
sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah
RI, yaitu mata uang De Javashe Bank ,mata uang pemerintah Hindia Belanda,dan
mata uang pendudukan Jepang. Pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied
Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang
NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah
RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia)
sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang
yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
2. Adanya blockade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945
untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
3. Kas Negara kosong
4. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan ekonomi,antara lain :
1. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan IR.
Surachman pada bulan Juli 1946.
2. Upaya menembus blockade dengan diplomasi beras ke India (India merupakan
Negara yang mengalami nasib yang sama dengan Indonesia yaitu sama-sama pernah
dijajah, Indonesia menawarkan bantuan berupa padi sebanyak 500.000 ton dan
India menyerahkan sejumlah obat-obatan kepada Indonesia),mengadakan kontak
dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blockade Belanda di Sumatera
dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
3. Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh
kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang
mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang,
serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
4. .Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari
1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
5. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan
beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan,
diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor
pertanian merupakan sumber kekayaan).
B. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Permasalah ekonomi yang dihadai oleh bangsa Indonesia
masih sama seperti sebelumnya. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi
masalah ekonomi, antara lain :
1. Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan
wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan
perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan
lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada
perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam
perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha
pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha
non-pribumi.
Pada kabinet ini untuk pertama kalinya terumuskan
suatu perencanaan pembangunan yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP)
2. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15
Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan
bank sirkulasi. (Kabinet Sukiman)
3. Sistem ekonomi Ali (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai
Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan
pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan
pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi
usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena
pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk
mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. (Kabinet ini sangat melindungi
importer pribumi, sangat berkeinginan mengubah perekonomian dari struktur
colonial menjadi nasional)
4. Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar,
termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda
yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa
mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.(Kabinet Burhanuddin)
5. Gunting Syarifuddin
Kebijakan gunting syarifuddin adalah
pemotongan nilai uang. Tindakan keuangan ini dilakukan pada tanggal 20 maret
1950 dengan cara memotong semua uang memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50
keatas hingga nilainya tinggal setengahnya. Kebijakan keuangan ini dilakukan
pada masa pemerintahan RIS oleh menteri keuangan pada waktu itu Syarifuddin
Prawiranegara.
6. Rencana Pembangunan Lima tahun (RPLT)
Pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II,
pemerintah membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro
Perancang Negara. Ir. Djuanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Pada
bulan Mei 1956, Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun
(RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961. Rencana
Undang-Undang tentang rencana Pembangunan ini disetujui oleh DPR pada tanggal
11 November 1958. Pembiayaab RPLT ini diperkirakan mencapai Rp. 12,5 miliar.
RPLT ini tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut.
ü Adanya depresi ekonomi Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun
1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
ü Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan Nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
ü Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang
melaksanakan kebijakannya masing-masing.
7. Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)
Ketegangan antara pusat dan daerah pada
masa Kabinet Djuanda untuk sementara waktu dapat diredakan dengan diadakan
Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Ir. Djuanda sebagai Perdana Menteri
memberikan kesempatan kepada Munap untuk mengubah rencana pembangunan itu agar
dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Akan
tetapi, rencana pembangunan ini tidak dapat berjalan dengan baik karena
menemukan kesulitan dalam menemukan prioritas. Selain itu ketegangan politik
yang tak bisa diredakan juga mengakibatkkan pecahnya pemberontakan
PRRI/Permesta. Untuk mengatasi pemberontakan ini diperlukan biaya yang sangat
besar sehingga emningkatkan defisit. Sementara itu ketegangan politik antara
Indonesia dengan Belanda menyangkut Irian Barat juga memuncak menuju
konfrontasi bersenjata.
C. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka
Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia
menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan
sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam
sosial, politik,dan ekonomi. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang
diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi
Indonesia, antara lain :
1. Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang
sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan
Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000
dibekukan.
2. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi
sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru
mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga
barang-baranga naik 400%.
3. Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang
senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000
kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai
10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka
inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar